Minang Kayo lahir dari kecintaan mendalam pendirinya—Priskurniawati, seorang perantau asal Malang yang jatuh cinta dengan budaya Minangkabau saat tinggal di Bukittinggi. Ia memulai usahanya pada tahun 2008 dengan galeri kecil di kawasan Lembah Anai, menjajakan oleh-oleh berbahan kulit seperti sandal capal datuak. Tahun 2016, usaha ini berkembang menjadi Galeri Sentral Kulit Minang Kayo di Padang Panjang yang memproduksi sepatu, jaket, tas, topi, hingga dompet berbahan kulit sapi, kambing, domba, dan kerbau. Meski berlokasi di gang kecil sekitar 100 meter dari jalan utama, kualitas produk dan layanan “pesanan kilat” untuk wisatawan membuat galeri ini menjadi destinasi favorit lokal maupun internasional.
Produk Minang Kayo telah merambah pasar mancanegara, termasuk Malaysia, Singapura, dan Brunei. Sebelum pandemi, omzetnya pernah mencapai Rp 300–350 juta per bulan—menjadi bukti bahwa kreativitas lokal dapat bersaing di pasar global. Kehadiran cabang tambahan di Air Terjun Lembah Anai dan kolaborasi dengan lembaga riset untuk mengolah limbah kulit menjadi souvenir memperkuat misi inovatif mereka. Usaha ini kini menjadi ikon kriya kulit Padang Panjang sekaligus magnet ekonomi kreatif daerah.